1. Bangsa Yang Bugar1. Kondisi Kesehatan Bangsa Saat Ini2. Pentingnya Bugar Jiwa dan Otak Kanan2. Sastra dan Peranannya dalam Masyarakat1. Pandangan Cak Nun dan Pramoedya Ananta Toer2. Kondisi Sastra di Media Massa3. Generasi dan Minat terhadap Sastra3. Kebangkitan Sastra Bawah Tanah1. Semangat Literasi dan Media Sosial2. Kegiatan Sastra Mandiri dan Swadaya3. Antologi Puisi "Dari Negeri Poci"4. Cegah Layu Sebelum Mekar1. Pentingnya Mendukung Potensi Sastra Anak Bangsa2. Peran Pemerintah dalam Mendukung Sastra3. Jaminan Sosial untuk Sastrawan4. Dukungan untuk Potensi Sastra yang Melimpah5. Fondasi untuk Status Bugar Total Sastrawan5. Sekilas tentang Handrawan Nadesul
KITA BANGSA BESAR YANG MISKIN SASTRA (Ketika media massa tidak mampu menjual kemewahan sastra, karena terpinggirkan isu ekonomi-politik-gosip, itulah potret bangsa kita)
Bangsa Yang Bugar
BANGSA yang bugar tercipta apabila empat komponen badan, jiwa, sosial, dan spiritualitas terpenuhi dalam setiap sosok kehidupan masyarakat. Tak cukup hanya fisik dan jiwa, bagi budayawan, dan sastrawan juga, sekadar rakyat biasa saja pun perlu bugar total atau total fitness dengan membugarkan juga aspek sosial, dan spiritualitas agar menjadi selengkap-lengkapnya makna sehat, agar bertumbuh bangsa yang bugar. Satu saja dari keempat komponen itu tidak digenapi, karena memang tidak diciptakan, kita belum merupa sebagai bangsa yang bugar.
Kondisi Kesehatan Bangsa Saat Ini
Kenyataan yang kita saksikan sekarang, belum semua individu bangsa berada dalam status bugar total, sebagian bahkan sedang tidak sehat. Termasuk di dalamnya kalangan budayawan, selain sastrawan. Dampak sosialnya buruk bagi sosok kebudayaan kita.
Pentingnya Bugar Jiwa dan Otak Kanan
Bugar jiwa berarti bugar yang mekar dan berkembang di dalam jiwa. Untuk mengisi jiwa sepenuh dan seelok-elok seorang insan tak cukup menjadi individu yang cerdas oleh karena di kita sekolah hanya menajamkan otak kiri semata, namun kenyataan yang kita hadapi dan rasakan, belum semua otak kanan bangsa diasah, atau terasah.
Berkesenian, bersastra, salah satunya, cara lain menajamkan otak kanan oleh karena sudah disebut, sebagai insan tak cukup hanya cerdik pandai menganalisis belaka yang dikerjakan oleh otak kiri, terlebih perlu cerdas bersikap bijak, bagian peran otak kanan. Hanya bila otak kanan diasah dan terasah saja, maka ada harapan kita menjadi individu yang bijak. Kalau menjadi hakim, tentu bangsa berharap hadir hakim yang bijak, yang tidak cuma mengacu pada pasal dan ayat belaka, terlebih hakim yang tunduk pada rasa keadilan juga. Hanya bila hakim diasah atau terasah otak kanannya, mungkin dengan menyukai, atau menjadi pekarya sastra sendiri, maka ia akan adil mengetuk palu. Demikian pula profesi lain, kita butuh penyelenggara negara yang juga tajam otak kanannya. Sastra bisa menjadi obatnya.
Sastra dan Peranannya dalam Masyarakat
Pandangan Cak Nun dan Pramoedya Ananta Toer
Sastra lebih dari yang kita sangka, kata Cak Nun. Satu dari sepuluh orang baik berkontribusi terhadap sastra, ujarnya lagi. Kita semua mahfum bahwa sastra tidak bisa mengubah dunia, tapi ketika politik kotor, sastra membersihkan. Ketika kebudayaan terkoyak, sastra menjahitnya. Masih relevan otokritik Pramoedya Ananta Toer yang satu ini saya kutipkan, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai."
Kondisi Sastra di Media Massa
KEHIDUPAN sastra kita kian terpinggirkan sejak sastra koran dasarwarsa 80-an tersisih oleh iklan, berita ekonomi, dan politik. Ruang sastra koran, harapan tersisa untuk penulis sastra mendapat tempat berkiprah, makin berguguran, setelah Horison satu-satunya majalah sastra kita, juga kembang kempis. Alasan tunggalnya hanya lantaran karya sastra benar memang tidak menjual. Satu dua penerbit saja yang sekarang masih sudi menerbitkan buku sastra saking sudah teguh dianggap sebagai pos merugi. Satu dua koran dan majalah yang setia memberi ruang bagi karya sastra, hanya karena sikap idealis berpihak kepada perlunya bangsa berhumaniora.
Generasi dan Minat terhadap Sastra
Pada masa yang sama remaja Generasi 80-an lebih menyukai musik ketimbang sastra, sehingga Majalah HAI waktu itu, beralih kiprahnya ke musik, dan karya sastra kaum remaja makin kehilangan tempat untuk hadir. Baru kemudian awal tahun 2000-an Taufiq Ismail menggugah kegairahan bersastra anak muda lewat program sastra masuk sekolah, ingin menyelamatkan pamor sastra di mata generasi muda.
Kebangkitan Sastra Bawah Tanah
Semangat Literasi dan Media Sosial
Kita memaklumi karya sastra perlu wadah media cetak untuk tampil dan supaya dianggap hadir. Namun kenyataannya sungguh prihatin kalau kini kita menyaksikan bangsa besar dengan riwayat kesusastraan pernah mumpuni, tampilan kesusastraannya terengah-engah. Karena sepi karya sastra, lemah pula apresiasi terhadapnya. Kehadiran Majalah Majas kiranya menjadi mesias bagi kehidupan bersastra selain mengangkat kembali wibawa bangsa yang katanya berbudaya. Ada sosok dan semangat yang mewakili, sekaligus menyelamatkan citra bangsa berbudaya namun tak punya majalah sastra yang representatif.
“Sastra bawah tanah”
Ketika koran dan majalah sastra terpaksa tidak berdaya lagi menampung karya sastra anak bangsa yang ingin hadir, gairah sastra anak muda di banyak wilayah untungnya belum padam. Mereka penuh semangat literasi, ketika yang satu ini dengan sepenuh kesadaran digaungkan pemerintah. Mungkin bagian dari revolusi mental, atau apa pun, kita mesti menaruh hormat untuk ini semua: Bahwa kita perlu memugar kebudayaan kita yang tidak berlebihan kalau rasanya sedang terkoyak boleh jadi akibat krisis nilai. Sastra harus menjadi penolong kebenaran, ketika kebenaran dijungkir balikkan, dan sastra di barisan terdepan patut membelanya.
Kegiatan Sastra Mandiri dan Swadaya
Berbahagia kita karena sekarang ini kegiatan sastra masih bermunculan di mana-mana, tersebar di sejumlah sentra pegiat sastra, secara mandiri dan swadaya, selain mereka juga menerbitkan buku sastra. Baru belakangan kehadiran media sosial ikut membantu menghadirkan. Bukankah masih menyala mandiri semangat bersastra begini sesungguhnya merupakan semangat yang bertumbuh menjadi aset nasional, yang seharusnya bagian dari kewajiban negara, sektor Kebudayaan, untuk ikut tidak setengah hati bantu memikirkannya.
Antologi Puisi "Dari Negeri Poci"
Ada fenomena, kita tertolong oleh kemunculan “sastra bawah tanah” semacam ini, yang sungguh menggembirakan. Semangat dan gairah bersastra tumbuh sendirinya di mana-mana wilayah, tanpa dukungan, alih-alih sokongan pemerintah. Kita bersyukur karena bukankah masih bertunasnya apresiasi masyarakat, termasuk yang di bawah sana, terhadap sastra di sementara bermekaran semangat anak bangsa, bukankah ini upaya meningkatkan adab bangsa, menajamkan nurani, menghaluskan rasa, melembutkan budi setiap generasi. Kita meniscayai, bahwa bangsa besar menghargai sastra.
Tahun 1987, saya dan beberapa teman yang menaruh perhatian, peduli pada kehidupan bersastra, menghimpun karya teman-teman penulis puisi dari segala penjuru. Yang hadir ternyata ratusan, baik yang sudah penyair, selain penulis puisi pemula. Bukti bahwa gairah menulis sastra, puisi dalam hal ini, masih belum padam. Kami menampungnya.
Antologi puisi Kelompok “Dari Negeri Poci” yang kami gagas sejak lebih 30 tahun, yang rutin berkala kami terbitkan secara swadaya itu, sampai tahun 2018 sudah antologi puisi Jilid 8, kini buku berketebalan 700-an halaman, menampung ratusan penulis puisi berbagai usia, dari lebih dua kali lipat pengirim yang tidak lolos seleksi, pada setiap edisinya. Ini bukti lain bahwa kehidupan sastra kita belum sirna. Sebuah catatan lain bagi pemerintah, sebagai bangsa, kita ternyata punya potensi sastra yang tidak kecil dan sepatutnya tidak pantas diabaikan, yang perlu dipikirkan bagaimana menampung, dan menumbuh-kembangkannya, mengembalikan citra bahwa kita seeloknya sebagai bangsa yang beradab berbudaya juga.
Cegah Layu Sebelum Mekar
Pentingnya Mendukung Potensi Sastra Anak Bangsa
Jangan sampai layu sebelum mekar. Kita patut malu dengan kehidupan sastra tetangga serumpun, yang karya sastra dan sastrawannya lebih mendapat tempat terhormat. Sekalipun begitu, masih sedikit beruntung kita, melihat di tengah karya sastra yang kurang mendapat tempat, kurang pula menerima apresiasi, masih tidak sedikit anak muda yang kini bisa gandrung pada sastra. Mereka tunas muda penulis kesusatraan, yang nantinya akan ikut memperkaya khasanah sastra bangsa. Sudah saatnya potensi terselubung ini dipupuk, diwadahi secara berkelayakan.
Peran Pemerintah dalam Mendukung Sastra
Pemerintah perlu membuka mata menyaksikan semnagat bersastra yang berswadaya dan mandiri begini. Kalau saja Sektor Kebudayaan mau menyisihkan seberapa persen saja anggarannya untuk menghidupkan, dan merawat kehidupan bersastra anak bangsa, alanglah berartinya nanti. Kehadiran Majalah Majas yang kita simak ini, misalnya, harusnya menggugat rasa malu pemerintah, bahwa sebagai bangsa besar, yang bertugas merawat kehidupan bersastra bangsa, malah pihak bukan pemerintah yang mengerjakannya. Malu kita sebagai bangsa besar kalau kehidupan bersastra anak bangsanya yang masih bergelora begini, tidak dirawat diayomi.
Jaminan Sosial untuk Sastrawan
Dulu almarhum M.S. Hutagalung, seorang kritikus sastra 70-an, pernah bilang begini, “Kapan ya negara kita bisa menghargai penulis sastra, penyair, sastrawannya, melihat di Belanda pengarang dijamin hidupnya oleh negara? Mereka tak perlu memikirkan urusan makan, hidup fokus berkarya sastra saja.” Sastrawan besar yang diharapkan mendapat nominasi Nobel perlu jaminan sosial itu. Ke mana saja anggaran sektor Kebudayaan, dan sektor lain yang terkait untuk beroientasi pada kehidupan bersastra anak bangsa, karena membangun bangsa tak cukup hanya fisik, terlebih bagi kekayaan inteleltual manusia berbudaya.
Kita trenyuh, honorarium majalah sastra Malaysia tahun 80-an saja menghargai penulisnya lebih pantas dibanding media massa kita. Kita mengapresiasi tulisan ekonomi dan politik lebih tinggi ketimbang karya sastra. Dan ini ironis bagi bangsa, karena sastrawan kita tidak bisa hidup hanya dari menulis sastra. Bagaimana menghadirkan karya sastra berkualitas kalau rata-rata pengarang kita harus memikirkan urusan dapur sebelum berkarya.
Dukungan untuk Potensi Sastra yang Melimpah
Buat pemerintah, bersyukur sekarang ini melihat potensi sumber daya sastrawan kita begitu melimpah di mana-mana pelosok negeri. Tolong tunjang mereka supaya tidak layu sebelum berkembang, karena merekalah juga pejuang penyelamat kebudayaan bangsa.
Setidaknya mereka calon sastrawan, yang kehadirannya wajib kita syukuri. Tinggal bagaimana menghimpun mereka agar berpeluang menyalurkan potensi sastranya, misal, dengan menyisihkan sekian persen saja anggaran sektor Kebudayaan, untuk menjamin kesejahteraan sastrawan. Termasuk agar Horison, majalah sastra semata wayang kita, penjaga martabat bangsa, juga ikut tersokong agar bisa mampu tersebar mengisi semua perpustakaan sekolah, meliput cakupan lebih luas anak didik yang mendapatkan kesempatan mengapresiasi karya sastra, bagian dari upaya menajamkan otak kanan. Ini momentum program Literasi menembus segala pelosok potensi anak bangsa, yang akan ikut meramalkan bakal menyehatkan seluruh anak bangsa.
Fondasi untuk Status Bugar Total Sastrawan
Hanya apabila kebutuhan dasar pekerja sastra tercukupi, itu yang akan menjadi fondasi agar mereka berhasil menuju status bugar total. Kalau saja semua pencipta karya sastra punya status bugar total, ada janji nyata di depan akan lahir karya nominasi Nobel. Untuk itu perlu jaminan sosial bagi kaum sastrawan, agar mereka fokus hanya menulis, dan tidak perlu memikirkan bagaimana menghidupi potensi berkaryanya. Kalau bukan pihak pemerintah yang memikirkannya, kami anak bangsa, pejuang literasi kecil-kecilan di bawah, apalah daya.*
Referensi artikel berdasarkan pemikiran Handrawan Nadesul
Sekilas tentang Handrawan Nadesul
Dr. Handrawan Nadesul, lahir dengan nama Gouw Han Goan pada 31 Desember 1948 di Karawang, Jawa Barat, adalah seorang dokter, penulis, dan penyair terkemuka di Indonesia. Sejak tahun 1968, karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media massa nasional.
Beliau menempuh pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya Jakarta dan lulus Ujian Negara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1981. Selain praktik sebagai dokter, Dr. Handrawan aktif menulis artikel kesehatan, opini, serta puisi. Hingga tahun 2008, ia telah menulis lebih dari 1.500 artikel dan menerbitkan 74 buku kesehatan.
Beberapa buku populernya antara lain "Sehat Itu Murah" (2007), "Sehat Calon Pengantin", dan "Cara Sehat Menjadi Perempuan". Selain menulis, ia juga aktif dalam seminar-seminar kesehatan dan sering menjadi narasumber di berbagai media untuk membahas isu-isu kesehatan.
Dalam bidang sastra, Dr. Handrawan telah menerbitkan beberapa kumpulan puisi, seperti "Sajak-sajak Pergi Berjalan Jauh" dan "Surat-surat yang Tak Terkirimkan". Karya-karya puisinya mencerminkan kepekaannya terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan.
Atas dedikasinya dalam dunia kesehatan dan literasi, pada tahun 2000, Dr. Handrawan menerima Piagam Penghargaan dari Menteri Kesehatan RI sebagai Penulis Surat Kabar Peduli Kesehatan.
Dengan perpaduan antara profesi medis dan kecintaannya pada dunia tulis-menulis, Dr. Handrawan Nadesul telah memberikan kontribusi signifikan dalam edukasi kesehatan dan pengembangan sastra di Indonesia.
Editorial 1: Kania Salsabila
Editorial 2: Iwan Kurniawan
Kata Kunci: sastra indonesia, kebudayaan bangsa, dukungan sastrawan, literasi anak muda, majalah sastra