Saudara mahasiswa pada pertemuan ke dua ini, mari kita diskusikan tentang
1. Mementingkan keluarga dalam nepotisme di organisasi menjadi budaya yang mulai dianggap lazim? apa maksud budaya disini, dalam tingkatan budaya menurut kotter dan Heskett?
2. Mengapa instansi atau sekolah disebut organisasi? jelaskan elemen kunci untuk memperjelasnya!
3. Apa saja tantangan organisasi dari internal dan eksternal dalam abad ke 20?
Tulis jawaban anda berdasarkan modul dan referensi lainnya
JAWABAN DISKUSI 1
Nepotisme, yaitu praktik mementingkan anggota keluarga atau kerabat dalam pengambilan keputusan organisasi yang mana ini telah menjadi fenomena yang semakin lazim di berbagai perusahaan, baik di sektor publik maupun swasta. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana nepotisme dapat dianggap sebagai bagian dari budaya organisasi, khususnya dalam konteks tingkatan budaya menurut Kotter dan Heskett (1992), yang membagi budaya organisasi menjadi dua tingkatan: tingkatan dalam (nilai-nilai bersama) dan tingkatan luar (norma-norma perilaku kelompok).
Pada tingkatan dalam, budaya organisasi mencakup nilai-nilai mendasar yang dianut oleh anggota organisasi, yang sering kali sulit diubah dan tidak disadari keberadaannya. Dalam konteks nepotisme, nilai-nilai seperti loyalitas keluarga dan hubungan personal mungkin lebih diutamakan daripada prinsip meritokrasi. Misalnya, dalam organisasi yang sangat menjunjung tinggi keterikatan keluarga, perekrutan atau promosi berdasarkan hubungan kekeluargaan dianggap wajar dan bahkan diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut telah tertanam kuat dalam identitas organisasi. Sebagai contoh, dalam perusahaan keluarga seperti PT Djarum yang dikelola oleh keluarga Hartono, penerus kepemimpinan sering dipilih berdasarkan hubungan keluarga. Meskipun individu tersebut mungkin memiliki kualifikasi yang memadai, keputusan ini lebih didasarkan pada ikatan keluarga daripada proses seleksi yang objektif dan berbasis kompetensi. Penelitian oleh Burhan et al. (2020) menunjukkan bahwa praktik semacam ini dapat menimbulkan persepsi negatif di kalangan karyawan, terutama jika mereka merasa kesempatan untuk maju dalam organisasi dibatasi oleh faktor hubungan keluarga.
Pada tingkatan luar, nepotisme tercermin dalam norma-norma perilaku sehari-hari, seperti proses perekrutan dan promosi yang lebih mengutamakan anggota keluarga atau kerabat dekat. Misalnya, seorang manajer memilih untuk mempromosikan saudara atau teman dekatnya daripada karyawan lain yang mungkin lebih berprestasi. Menurut Schein (2010), norma-norma ini memengaruhi interaksi antar anggota organisasi dan cara mereka mengambil keputusan. Praktik nepotisme yang terlihat pada tingkatan ini dapat menurunkan moral karyawan, menciptakan perasaan ketidakadilan, dan pada akhirnya mengurangi kinerja organisasi secara keseluruhan. Isu keadilan prosedural menjadi sangat penting dalam konteks ini. Karyawan cenderung lebih menerima keputusan jika prosesnya dianggap adil dan transparan, meskipun hasil akhirnya tidak menguntungkan mereka (Burhan et al., 2020). Sebaliknya, jika proses perekrutan dan promosi tidak jelas atau dianggap bias, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan menurunkan motivasi kerja. Oleh karena itu, persepsi nepotisme sering kali disebabkan oleh pandangan bahwa prosedur organisasi tidak dijalankan secara adil.
Untuk mengatasi masalah nepotisme yang telah menjadi bagian dari budaya organisasi, diperlukan upaya pada kedua tingkatan budaya tersebut. Pada tingkatan dalam, organisasi perlu merefleksikan dan mungkin mengubah nilai-nilai dasar mereka dengan menekankan pentingnya meritokrasi, keadilan, dan profesionalisme. Pelatihan dan pengembangan budaya organisasi yang menyoroti nilai-nilai ini dapat membantu dalam mengubah persepsi dan praktik yang ada. Pada tingkatan luar, organisasi harus menerapkan kebijakan dan prosedur yang transparan dalam proses perekrutan, promosi, dan penilaian kinerja. Hal ini termasuk menetapkan kriteria yang jelas dan objektif, serta memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang berdasarkan kompetensi dan kinerja mereka. Dengan demikian, organisasi dapat membangun budaya yang lebih adil dan berorientasi pada kinerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi karyawan dan mendorong pertumbuhan serta inovasi.
Kesimpulannya, menurut saya nepotisme yang dianalisis melalui tingkatan budaya Kotter dan Heskett telah mencerminkan nilai-nilai bersama pada tingkatan dalam yang sulit diubah, sementara pada tingkatan luar, nepotisme terlihat jelas dalam norma perilaku sehari-hari. Dengan memahami kedua tingkatan ini, organisasi dapat mengubah praktik nepotisme menjadi budaya yang lebih adil dan produktif.
JAWABAN DISKUSI 2
Menurut pemahaman saya, alasan mengapa Instansi atau sekolah sering kali disebut sebagai organisasi karena memiliki karakteristik yang sesuai dengan definisi organisasi dalam konteks ilmiah. Menurut Daft (1992), organisasi adalah "satu kesatuan sosial yang mempunyai tujuan tertentu, dan secara sengaja membentuk sistem-sistem kegiatan dengan batas-batasnya terhadap lingkungannya yang dapat dikenali dengan mudah". Mari kita elaborasikan satu persatu poinnya,
1. Satu Kesatuan Sosial
Instansi atau sekolah terdiri atas individu-individu dan kelompok-kelompok yang berinteraksi dalam suatu sistem sosial. Para guru, siswa, staf administrasi, dan manajemen memiliki peran masing-masing yang saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Unsur manusia ini sangat penting karena mereka secara aktif dan kreatif menciptakan kegiatan, gagasan inovatif, dan berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan manusia untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan juga menentukan kelangsungan hidup organisasi, terutama dalam konteks pendidikan yang selalu berkembang.
2. Terarah pada Tujuan (Goal-Directed)
Setiap instansi atau sekolah memiliki visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai. Organisasi dan para anggotanya berusaha menyelesaikan misinya melalui berbagai tindakan yang terencana. Meskipun tujuan individu dan organisasi mungkin berbeda, namun ada kesepakatan untuk bekerja menuju pencapaian tujuan bersama. Tindakan yang dilakukan bersifat intensional dan rasional, baik untuk kepentingan pribadi maupun organisasi.
3. Membentuk Sistem-sistem Kegiatan
Instansi atau sekolah membagi tugas dan tanggung jawab ke dalam berbagai unit dan departemen, seperti bagian akademik, administrasi, keuangan, dan layanan siswa. Pembagian ini memungkinkan efisiensi dalam proses kerja dan memudahkan koordinasi antar unit. Sistem kegiatan dalam organisasi pendidikan mencakup proses sosial, teknis, dan administratif:
- Proses Sosial: Interaksi antara guru, siswa, dan staf yang menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Komunikasi menjadi inti dalam menyebarkan informasi, membuat keputusan, dan merencanakan tindakan.
- Proses Teknis: Metode pengajaran, kurikulum, dan penggunaan teknologi pendidikan yang mendukung proses belajar-mengajar.
- Proses Administratif: Pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, dan operasional yang mendukung kelancaran kegiatan pendidikan.
4. Batas yang Mudah Dikenal
Instansi atau sekolah memiliki batasan yang jelas yang membedakannya dari lingkungan eksternal. Karakteristik organisasi ini terlihat dari struktur, budaya, dan aturan yang berlaku. Anggota organisasi memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam kerangka kerja yang ditetapkan. Batas ini memungkinkan organisasi mempertahankan identitasnya dan berfungsi sebagai satu kesatuan yang berbeda dari lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, menurut saya, instansi atau sekolah sudah jelas memenuhi definisi sebagai sebuah organisasi karena memenuhi empat elemen kunci yang mendefinisikan sebuah organisasi.
JAWABAN DISKUSI 3
Menurut saya, organisasi di abad ke-21 menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal. Dari sisi eksternal, pertumbuhan penduduk yang pesat memengaruhi ketersediaan lapangan kerja, akses pendidikan, dan layanan kesehatan. Organisasi harus menyesuaikan strategi untuk mengelola sumber daya manusia secara efektif.
Situasi militer dan ketidakstabilan geopolitik juga menjadi tantangan. Hal ini terutama berdampak pada organisasi di sektor industri strategis, di mana operasional bisa terganggu. Ketersediaan dan ketahanan pangan adalah isu krusial lainnya. Organisasi di bidang pangan perlu beradaptasi untuk menjaga pasokan dan kualitas bahan makanan bagi masyarakat.
Tingkat pengangguran yang tinggi dapat menurunkan daya beli dan menimbulkan ketidakstabilan sosial. Oleh karena itu, organisasi perlu menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan. Inflasi juga memengaruhi daya beli masyarakat, sehingga organisasi harus menerapkan strategi efisiensi biaya untuk tetap kompetitif.
Di bidang kesehatan, tantangan muncul dalam memastikan akses terhadap layanan kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Organisasi perlu mengurangi risiko kesehatan dalam operasional mereka. Ketidakpastian seperti bencana alam atau perubahan teknologi yang cepat menuntut organisasi memiliki fleksibilitas tinggi.
Dari sisi internal, memiliki budaya organisasi yang kuat sangat penting. Hal ini membantu meningkatkan keterikatan dan loyalitas karyawan. Kemampuan adaptasi juga krusial agar organisasi siap menghadapi perubahan yang cepat. Integritas yang kuat dalam operasional membantu membangun kepercayaan di mata publik dan mitra bisnis.
Sebagai contoh, perusahaan yang berhasil beradaptasi selama pandemi COVID-19 dengan menerapkan kerja jarak jauh dan layanan digital menunjukkan kemampuan adaptasi dan fleksibilitas. Menurut saya, dengan memahami dan mengatasi tantangan-tantangan ini, organisasi dapat meningkatkan keberhasilan dan daya saing mereka di masa depan. Sekian diskusi dari saya, apabia ada tambahan atau perbaikan, dengan senang hati akan saya perbaiki dan luruskan. Terima kasih.
Ingin Tuton/TMK kamu jadi lebih mudah dan Cepet Kelar dengan bantuan AI? Dapatkan Template AI buat nugas, belajar, dan lainnya di BCB Academy (Klik di sini untuk selengkapnya!).
Yuk, bagikan tulisan ini untuk menginspirasi lebih banyak teman mahasiswa lainnya untuk belajar dan mengerjakan tugas tepat waktu!
Daftar Pustaka
- Burhan, Omar & Van Leeuwen, Esther & Scheepers, Daan. (2020). On the hiring of kin in organizations: Perceived nepotism and its implications for fairness perceptions and the willingness to join an organization. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 161. 34-48. 10.1016/j.obhdp.2020.03.012.
- Kotter, J. P., & Heskett, J. L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press.
- Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership (4th ed.). San Francisco: Jossey-Bass.
- Toha, M. (2014). Perilaku organisasi (Edisi ke-2). Universitas Terbuka.
Kata kunci:
1. budaya nepotisme organisasi
2. budaya organisasi Kotter dan Heskett
3. nepotisme perusahaan keluarga
4. elemen organisasi sekolah
5. tantangan organisasi abad 21