- Diskusikan pentingnya bagi organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan apa yang terjadi jika organisasi tidak berusaha untuk beradaptasi.
- Berikan contoh nyata dari organisasi yang gagal melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan analisis faktor penyebab kegagalannya dilihat dari aspek lingkungan organisasi.
Catatan Penting:
- Jawaban harus merupakan hasil pemikiran dan analisis pribadi yang didukung Teori Organisasi yang ada di BMP ADPU4341
- Mahasiswa tidak diperkenankan untuk mengcopy-paste jawaban dari anggota forum lainnya. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dikenakan sanksi sesuai kebijakan akademik yang berlaku.
JAWABAN DISKUSI 1
Perubahan lingkungan global yang cepat dan kompleks menuntut organisasi untuk beradaptasi agar tetap relevan dan kompetitif. Menurut saya, adaptasi ini bukan hanya penting, tetapi juga krusial untuk kelangsungan hidup organisasi di tengah dinamika ekonomi, politik, teknologi, dan sosial yang terjadi saat ini.
Di abad ke-21, lingkungan global mengarah pada penyatuan ekonomi antarnegara melalui blok-blok seperti NAFTA, EU, dan AFTA. Integrasi ekonomi ini menciptakan jaringan global yang semakin dalam, didukung oleh teknologi komputer dan komunikasi (Friedman, 2005). Kemunculan pusat-pusat ekonomi baru seperti India, Cina, dan Uni Emirat Arab juga menandakan pergeseran kekuatan ekonomi dari Amerika Serikat dan Eropa Barat ke Asia Selatan dan Asia Timur. Oleh karena itu, organisasi harus beradaptasi dengan perubahan ini untuk memanfaatkan peluang baru dan tetap relevan dalam peta ekonomi global. Misalnya, di industri otomotif, Toyota memperluas operasinya ke Amerika Utara dengan mendirikan pabrik di Meksiko untuk memanfaatkan NAFTA (kini USMCA). Langkah ini membantu Toyota mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi logistik dengan mendekatkan produksi ke pasar utama. Dengan adaptasi ini, Toyota mampu bersaing dengan produsen lokal dan internasional serta memanfaatkan keuntungan perdagangan bebas di kawasan tersebut.
Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengubah cara kerja dan struktur organisasi. Castells (1996) menyatakan bahwa terjadi destrukturisasi organisasi dan delegitimasi institusi, di mana masyarakat terstruktur ke dalam dua kutub, yaitu "the Net" dan "the Self." Revolusi telekomunikasi ini menyebabkan banjir informasi yang menuntut organisasi untuk mengelola data secara efektif agar tetap kompetitif. Contohnya, perusahaan media tradisional seperti New York Times mengadopsi strategi digital dengan menggunakan media sosial dan platform online sebagai saluran utama berita mereka. Langkah ini merupakan respons terhadap penurunan minat pada media cetak dan peningkatan konsumsi digital. Struktur organisasi diubah untuk berfokus pada konten digital dan data analitik untuk memantau keterlibatan pembaca secara real-time, mencerminkan konsep "the Net" dan "the Self" dalam pola konsumsi konten.
Tapscott (1996) juga menunjukkan bahwa perubahan ini telah mendorong terbentuknya jaringan-jaringan baru dalam masyarakat, difasilitasi oleh teknologi. Jaringan ini memungkinkan organisasi untuk mengintegrasikan pekerjaan dalam tim kecil yang lebih fleksibel, di mana pengetahuan, informasi, intelektual, dan pengalaman menjadi sumber daya utama (Stewart, 1997). Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, organisasi perlu memanfaatkan teknologi serta beradaptasi dengan struktur kerja yang lebih fleksibel dan berbasis pengetahuan. Sebagai contoh, perusahaan konsultasi McKinsey menggunakan alat kolaborasi seperti Microsoft Teams dan Slack untuk mendukung jaringan tim proyek di berbagai negara. Alat ini memfasilitasi kolaborasi lintas batas dan memungkinkan tim kecil bekerja secara fleksibel dan cepat berbagi informasi. Selain itu, McKinsey memanfaatkan alat analitik berbasis data untuk mengintegrasikan wawasan dari berbagai proyek, meningkatkan efisiensi kerja berbasis pengetahuan.
Perubahan sosial menuju masyarakat berpengetahuan menuntut organisasi untuk lebih inovatif dan adaptif. Drucker (1997) menekankan bahwa perubahan mendasar yang cepat telah mengubah wajah dunia secara serentak. Organisasi yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini akan memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan keberlanjutan dan relevansinya dalam jangka panjang. Contohnya, Google berinvestasi dalam program pelatihan digital seperti Google Digital Garage untuk mengembangkan keterampilan digital masyarakat. Inisiatif ini mencerminkan adaptasi terhadap tuntutan masyarakat berpengetahuan yang membutuhkan keterampilan baru di era digital. Google juga menciptakan budaya kerja yang berfokus pada pembelajaran dan inovasi berkelanjutan untuk menjaga relevansi dan daya saing di lingkungan teknologi yang cepat berubah.
Menurut saya, adaptasi terhadap perubahan lingkungan adalah keharusan bagi setiap organisasi yang ingin bertahan dan sukses di era globalisasi ini. Perubahan ekonomi, teknologi, dan sosial menuntut organisasi untuk terus berinovasi dan menyesuaikan strategi mereka. Kegagalan untuk beradaptasi tidak hanya mengancam keberlangsungan organisasi itu sendiri tetapi juga dapat berdampak negatif pada ekonomi dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, organisasi harus proaktif dalam memahami dan merespons perubahan yang terjadi di sekitar mereka.
JAWABAN DISKUSI 2
Menurut saya, kegagalan Toko Buku Gunung Agung dapat dianalisis dari beberapa faktor lingkungan organisasi, mari kita bahas satu persatu penyebabnya:
- Penurunan Skor Literasi dan Hubungannya dengan Minat Baca Buku Fisik
Salah satu indikator yang relevan dalam menilai minat baca masyarakat adalah skor literasi yang diukur melalui Programme for International Student Assessment (PISA). Berdasarkan laporan terbaru PISA pada tahun 2022, skor literasi Indonesia untuk membaca mengalami penurunan meskipun posisi Indonesia naik di tingkat internasional. Skor literasi membaca turun dari 371 pada 2018 menjadi 359 pada 2022 (PISA, 2023). Penurunan ini menunjukkan bahwa meskipun posisi Indonesia mengalami sedikit peningkatan, kemampuan membaca dan literasi siswa Indonesia belum menunjukkan perkembangan signifikan. Data ini juga mencerminkan penurunan minat membaca, terutama terhadap buku fisik, yang menjadi salah satu sumber utama pengetahuan dan pendidikan.
Secara paralel, kita juga melihat perubahan besar dalam preferensi konsumen yang kini beralih dari buku cetak menuju buku digital (e-book). Survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) tahun 2020 menunjukkan bahwa meskipun penjualan buku digital di Indonesia masih berada di bawah 10% dari total penjualan buku, namun tren digitalisasi ini terus meningkat seiring dengan preferensi masyarakat yang lebih menyukai akses yang cepat dan fleksibel. Perubahan ini mengakibatkan penurunan permintaan terhadap buku fisik, yang berdampak langsung pada penjualan toko buku konvensional, termasuk Toko Buku Gunung Agung.
- Perubahan Pola Konsumsi dan Penetrasi Digitalisasi di Indonesia
Digitalisasi di Indonesia telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7%, yang berarti lebih dari separuh populasi memiliki akses internet yang memadai untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk membaca dan berbelanja. Kemudahan akses internet mendorong masyarakat untuk beralih dari toko fisik ke platform daring dalam memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan. Selain itu, platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee juga menyediakan akses mudah bagi konsumen untuk membeli buku dengan harga kompetitif, tanpa harus mengunjungi toko fisik.
Toko buku seperti Gunung Agung menghadapi tantangan besar dalam mengikuti perubahan ini. Kurangnya inovasi untuk menyediakan layanan digital dan e-commerce menyebabkan mereka tertinggal dibandingkan kompetitor yang lebih responsif dalam memanfaatkan potensi digital. Sementara itu, perubahan preferensi konsumen yang cenderung lebih menyukai platform digital memengaruhi daya tarik toko fisik dan pada akhirnya menurunkan jumlah pengunjung. Persaingan yang semakin ketat dari platform daring membuat toko buku tradisional harus menghadapi tekanan lebih besar untuk mempertahankan relevansi mereka di tengah pergeseran perilaku konsumen ini.
- Adaptasi Strategi Pemasaran Digital
Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dalam strategi pemasaran adalah kunci bagi keberhasilan bisnis, terutama di era digital. Dalam hal ini, Toko Buku Gunung Agung dapat dilihat kurang adaptif dibandingkan pesaingnya. Misalnya, Gramedia, salah satu pesaing utama, secara aktif memanfaatkan platform digital dan media sosial untuk menjangkau konsumen yang lebih luas. Gramedia memaksimalkan penggunaan media sosial, aplikasi mobile, dan website yang dirancang untuk memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Gramedia juga menawarkan penawaran eksklusif, diskon, dan layanan berlangganan melalui platform digital, yang mampu menarik minat konsumen modern yang terbiasa dengan layanan daring.
Sebaliknya, Toko Buku Gunung Agung tidak sepenuhnya memanfaatkan potensi pemasaran digital dan media sosial untuk memperkuat kehadiran mereka di pasar digital. Keterbatasan adaptasi strategi ini menjadikan Gunung Agung kehilangan kesempatan untuk bersaing secara efektif dengan kompetitor yang lebih inovatif dan responsif terhadap tren pasar. Hal ini pada akhirnya menyebabkan penurunan daya saing toko buku fisik ini di tengah meningkatnya dominasi toko daring yang memberikan lebih banyak pilihan dan kemudahan bagi konsumen.
- Dampak Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 memberikan dampak besar pada berbagai sektor, termasuk sektor ritel dan buku. Pembatasan sosial dan kebijakan penutupan sementara yang diterapkan selama pandemi memaksa banyak toko fisik, termasuk Toko Buku Gunung Agung, untuk menutup operasional sementara atau bahkan permanen. Dampaknya, konsumen beralih ke platform daring untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk membaca dan membeli buku. Dalam kondisi ini, toko buku yang tidak memiliki infrastruktur digital yang kuat mengalami kesulitan untuk menjaga volume penjualan yang stabil.
Pandemi juga membawa perubahan dalam gaya hidup masyarakat, di mana konsumen menjadi lebih terbiasa dengan penggunaan teknologi dan platform digital untuk mengakses informasi dan hiburan. Menurut survei McKinsey & Company (2020), sebanyak 67% konsumen Indonesia menyatakan bahwa mereka lebih sering menggunakan layanan daring selama pandemi. Perubahan ini memperkuat tren digitalisasi yang telah ada sebelumnya, dan mempercepat transisi konsumen menuju konsumsi konten digital. Dalam hal ini, Toko Buku Gunung Agung yang bergantung pada toko fisik mengalami tantangan besar untuk mengikuti perubahan yang terjadi secara cepat.
Berdasarkan analisis mendalam atas faktor-faktor penyebab kegagalan Toko Buku Gunung Agung yang telah saya sampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kegagalan ini adalah ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal yang sangat dinamis. Perubahan pola konsumsi, penetrasi digitalisasi, kurangnya inovasi dalam strategi pemasaran digital, dan dampak pandemi COVID-19 merupakan tantangan utama yang perlu dihadapi dengan strategi yang lebih tanggap dan responsif.
Menurut pandangan saya, fenomena ini mencerminkan pentingnya kemampuan adaptasi dan inovasi di tengah perubahan yang terus-menerus dalam dunia bisnis. Toko Buku Gunung Agung sebagai institusi bersejarah di Indonesia seharusnya dapat mengantisipasi perubahan ini dengan memperkuat kehadiran digital dan menawarkan layanan yang lebih relevan bagi konsumen modern. Alternatif solusi yang dapat diambil antara lain adalah melakukan investasi dalam infrastruktur digital, memperkuat strategi pemasaran berbasis media sosial, dan mengembangkan layanan buku digital atau platform berlangganan untuk mempertahankan relevansi di pasar yang semakin kompetitif.
Melihat fenomena ini, saya berpendapat bahwa industri ritel, terutama toko buku konvensional, perlu lebih proaktif dalam berinovasi dan menyesuaikan strategi bisnis mereka dengan kebutuhan dan preferensi konsumen yang terus berubah. Perusahaan harus memahami bahwa transformasi digital bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan yang mendasar agar tetap relevan dan bersaing di era digital ini. Dengan demikian, situasi serupa seperti yang dialami oleh Toko Buku Gunung Agung dapat dihindari, dan perusahaan dapat terus bertahan bahkan di tengah perubahan yang cepat dalam lingkungan bisnis. Sekian diskusi dari saya, apabila ada tambahan atau perbaikan, dengan senang hati akan saya perbaiki dan luruskan. Terima kasih.
Ingin Tuton/TMK kamu jadi lebih mudah dan Cepet Kelar dengan bantuan AI? Dapatkan Template AI buat nugas, belajar, dan lainnya di BCB Academy (Klik di sini untuk selengkapnya!).
Yuk, bagikan tulisan ini untuk menginspirasi lebih banyak teman mahasiswa lainnya untuk belajar dan mengerjakan tugas tepat waktu!
Daftar Pustaka
- Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell Publishers.
- Drucker, P. F. (1997). The Age of Social Transformation. The Atlantic Monthly.
- Friedman, T. L. (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. Farrar, Straus and Giroux.
- Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). (2023). Masa Depan Buku di Indonesia: Adaptasi Digitalisasi dan Tantangan Pembajakan. Diakses dari https://www.ikapi.org/2023/05/24/masa-depan-buku-di-indonesia-adaptasi-digitalisasi-dan-tantangan-pembajakan/.
- Katadata. (2021). Ekonomi Digital Indonesia Terganjal Pemerataan Adopsi Internet. Diakses dari https://katadata.co.id/analisisdata/610a57cd5f37d/ekonomi-digital-indonesia-terganjal-pemerataan-adopsi-internet
- Katadata. (2023). 5 Penyebab Toko Buku Gunung Agung Tutup: Tergerus E-Book hingga Medsos. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/industri/646b212ddc73b/5-penyebab-toko-buku-gunung-agung-tutup-tergerus-e-book-hingga-medsos.
- OECD (2023). Hasil PISA 2022 (Volume I): Keadaan Pembelajaran dan Kesetaraan dalam Pendidikan, PISA, Penerbitan OECD, Paris. https://doi.org/10.1787/53f23881-en.
- Purwanto, A. J. (2014). Teori organisasi (Edisi ke-2). Universitas Terbuka.
- Tapscott, D. (1996). The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. McGraw-Hill.
Kata Kunci: adaptasi organisasi, perubahan lingkungan, kegagalan bisnis, transformasi digital, inovasi ritel